HaloSumbar.com – Gempa bumi berkekuatan 6,2 Skala Richter (SR) mengguncang Sumatera Barat, Jumat dini hari (1/9). Gempa Mentawai sekitar pukul 00.06 WIB ini dirasakan berdurasi cukup lama.
Kepala BMKG Padangpanjang, Rahmat Triyono melalui keterangan resminya menyebutkan pusat gempa berada di kedalaman 10 km dan berlokasi di 80 km Timur Laut, Kepulauan Mentawai.
Dari hasil evaluasi BMKG, kata Rahmat Triyono, gempa Mentawai ini tidak berpotensi Tsunami.
Gempa yang berdurasi cukup lama ini begitu kuat dirasakan di Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai. Mayoritas penduduk setempat dikabarkan berhamburan keluar rumah.
“Saya di Siberut sekarang. Keadaan Alhmdulillah masih aman dan terkendali. Masyarakat umunya lari keluar rumah semua, karena kencangnya goncangan gempa. Kendati demikian belum ada masyarakat yang mengungsi ke arah pegunungan,” ujar Ustadz Portito, seorang guru agama yang berdomisili di Muara Siberut.
Tidak hanya di Mentawai, dampak gempa juga dirasakan bahkan di Kerinci, Jambi. Sejumlah perantau Sumbar ya.g menetap di Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau juga merasakan hal serupa.
Sementara itu di Kota Padang dilaporkan sejumlah warga masih bertahan di luar rumah untuk mengantisipasi gempa susulan.
Satu jam berselang, Wali Kota Padang, Mahyeldi Ansharullah juga langsung turun ke Pantai Padang untuk menenangkan warganya.

Sementara itu, pakar kegempaan Universitas Andalas, Badrul Mustafa menilai, kemungkinan mekanisme gempa ini adalah gempa subduksi. Bukan strike-slip.
Hal itu berdasarkan jauhnya dampak yang dirasakan warga kendati berada jauh dari episentrumnya.
Artinya, gempa ini disebabkan satu lempeng bumi mendorong lempeng lain untuk masuk ke bawahnya. Gempa subduksi umunya berkekuatan besar.
Di sisi lain, gempa yang bersifat strike-slip diakibatkan oleh bidang bebatuan yang saling bergeseran.
Badrul Mustafa menyebut lokasi episentrum gempa ini juga berdekatan dengan historis gempa 30 September 2009 silam.
“Kalau gempa strike-slip seperti di patahan Sumatra atau nama lainnya patahan Semangko. Kalau bangunan berada di patahan ini berisiko mengalami dampak yang besar,” ujar dia.
“Tapi kalau agak berjarak dari patahan strike-slip ini, dampaknya tidak terlalu mengkhawatirkan. Tapi gempa di darat yang strike-slip, meskipun umumnya paling tinggi berkekuatan sekitar 7 SR, lebih berbahaya karena umumnya sangat dangkal dan dekat dengan pemukiman warga,” jelasnya.
Dikatakan Badrul, kalau gempa subduksi seperti di megathrust, yang dekat dengan sumber gempa, risikonya besar. Bahkan dampaknya bisa sampai jauh.
Kekuatan gempa subduksi bisa kecil, sampai sangat besar. Misalnya gempa Aceh tahun 2004 dengan kekuatan 9.2 SR. Atau, gempa Nias tahun 2005 magnitudonya 8.7 SR.
“Begitu juga gempa di Padang tahun 2009 dengan kekuatan 8,3 SR. Itu semua gempa subduksi, mirip dengan pola gempa malam ini,” tegas guru besar Fakultas Teknik itu.
Kendati berskala tidak sebesar tahun 2009 silam, ditanyak apakah Sumbar sudah aman?
Badrul Mustafa dengan tegas mengimbau warga agar tetap waspada.
Menurutnya ancaman tetap datang dari megathrust Siberut. Karena energi yang keluar dari segmen ini baru kira-kira sepertiga dari yang biasanya keluar sesuai dengan periode ulangnya. Maka energi yang duapertiga lagi bisa berbahaya kalau keluar sekaligus. Bisa menghasilkan gempa sangat dahsyat sekitar 8,5 SR.
“Informasi ini sudah disampaikan kepada masyarakat oleh pemerintah dan lembaga terkait, termasuk LSM,” bebernya.
Kemudian, melihat respons masyarakat terhadap gempa, menurut Badrul adalah langkah maju yang patut diapresiasi. Tidak terdengar laporan kepanikan masyarakat seperti yang terjadi pada awal Maret 2016 silam.
“Tidak terdengar orang melarikan diri keluar rumah terbirit-birit sampai terjadi kemacetan di zona merah tsunami. Mudah-mudahan ini suatu kemajuan dari masyarakat dalam menghadapi ancaman tsunami,” pungkasnya. (HS/Oneal)